Konflik berasal dari kata
kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara
sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau
lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak
lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah
mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya,
konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan
ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah
menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan
lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi
sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah
mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya,
konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
Definisi konflik
Ada beberapa pengertian konflik menurut
beberapa ahli.
- Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.
- Menurut Gibson, et al (1997: 437), hubungan selain dapat menciptakan kerjasama, hubungan saling tergantung dapat pula melahirkan konflik. Hal ini terjadi jika masing – masing komponen organisasi memiliki kepentingan atau tujuan sendiri – sendiri dan tidak bekerja sama satu sama lain.
- Menurut Robbin (1996), keberadaan konflik dalam organisasi ditentukan oleh persepsi individu atau kelompok. Jika mereka tidak menyadari adanya konflik di dalam organisasi maka secara umum konflik tersebut dianggap tidak ada. Sebaliknya, jika mereka mempersepsikan bahwa di dalam organisasi telah ada konflik maka konflik tersebut telah menjadi kenyataan.
- Dipandang sebagai perilaku, konflik merupakan bentuk minteraktif yang terjadi pada tingkatan individual, interpersonal, kelompok atau pada tingkatan organisasi (Muchlas, 1999). Konflik ini terutama pada tingkatan individual yang sangat dekat hubungannya dengan stres.
- Menurut Minnery (1985), Konflik organisasi merupakan interaksi antara dua atau lebih pihak yang satu sama lain berhubungan dan saling tergantung, namun terpisahkan oleh perbedaan tujuan.
- Konflik dalam organisasi sering terjadi tidak simetris terjadi hanya satu pihak yang sadar dan memberikan respon terhadap konflik tersebut. Atau, satu pihak mempersepsikan adanya pihak lain yang telah atau akan menyerang secara negatif (Robbins, 1993).
- Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami (Pace & Faules, 1994:249).
- Konflik dapat dirasakan, diketahui, diekspresikan melalui perilaku-perilaku komunikasi (Folger & Poole: 1984).
- Konflik senantisa berpusat pada beberapa penyebab utama, yakni tujuan yang ingin dicapai, alokasi sumber – sumber yang dibagikan, keputusan yang diambil, maupun perilaku setiap pihak yang terlibat (Myers,1982:234-237; Kreps, 1986:185; Stewart, 1993:341).
- Interaksi yang disebut komunikasi antara individu yang satu dengan yang lainnya, tak dapat disangkal akan menimbulkan konflik dalam level yang berbeda – beda (Devito, 1995:381)
Konflik Menurut Robbin
Robbin (1996: 431) mengatakan konflik dalam
organisasi disebut sebagai The Conflict Paradoks, yaitu pandangan bahwa di sisi
konflik dianggap dapat meningkatkan kinerja kelompok, tetapi di sisi lain
kebanyakan kelompok dan organisasi berusaha untuk meminimalisasikan konflik.
Pandangan ini dibagi menjadi tiga bagian, antara lain:
- Pandangan tradisional (The Traditional View). Pandangan ini menyatakan bahwa konflik itu hal yang buruk, sesuatu yang negatif, merugikan, dan harus dihindari. Konflik disinonimkan dengan istilah violence, destruction, dan irrationality. Konflik ini merupakan suatu hasil disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurang kepercayaan, keterbukaan di antara orang – orang, dan kegagalaan manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi karyawan.
- Pandangan hubungan manusia (The Human Relation View. Pandangan ini menyatakan bahwa konflik dianggap sebagai suatu peristiwa yang wajar terjadi di dalam kelompok atau organisasi. Konflik dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari karena di dalam kelompok atau organisasi pasti terjadi perbedaan pandangan atau pendapat antar anggota. Oleh karena itu, konflik harus dijadikan sebagai suatu hal yang bermanfaat guna mendorong peningkatan kinerja organisasi. Dengan kata lain, konflik harus dijadikan sebagai motivasi untuk melakukan inovasi atau perubahan di dalam tubuh kelompok atau organisasi.
- Pandangan interaksionis (The Interactionist View). Pandangan ini cenderung mendorong suatu kelompok atau organisasi terjadinya konflik. Hal ini disebabkan suatu organisasi yang kooperatif, tenang, damai, dan serasi cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut pandangan ini, konflik perlu dipertahankan pada tingkat minimum secara berkelanjutan sehingga tiap anggota di dalam kelompok tersebut tetap semangat, kritis – diri, dan kreatif.
Konflik Menurut Stoner dan Freeman
Stoner dan Freeman(1989:392) membagi
pandangan menjadi dua bagian, yaitu pandangan tradisional (Old view) dan
pandangan modern (Current View):
- Pandangan tradisional. Pandangan tradisional menganggap bahwa konflik dapat dihindari. Hal ini disebabkan konflik dapat mengacaukan organisasi dan mencegah pencapaian tujuan yang optimal. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan yang optimal, konflik harus dihilangkan. Konflik biasanya disebabkan oleh kesalahan manajer dalam merancang dan memimpin organisasi. Dikarenakan kesalahan ini, manajer sebagai pihak manajemen bertugas meminimalisasikan konflik.
- Pandangan modern. Konflik tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan banyak faktor, antara lain struktur organisasi, perbedaan tujuan, persepsi, nilai – nilai, dan sebagainya. Konflik dapat mengurangi kinerja organisasi dalam berbagai tingkatan. Jika terjadi konflik, manajer sebagai pihak manajemen bertugas mengelola konflik sehingga tercipta kinerja yang optimal untuk mencapai tujuan bersama.
Konflik Menurut Myers
Selain pandangan menurut Robbin dan Stoner
dan Freeman, konflik dipahami berdasarkan dua sudut pandang, yaitu: tradisional
dan kontemporer (Myers, 1993:234)
- Dalam pandangan tradisional, konflik dianggap sebagai sesuatu yang buruk yang harus dihindari. Pandangan ini sangat menghindari adanya konflik karena dinilai sebagai faktor penyebab pecahnya suatu kelompok atau organisasi. Bahkan seringkali konflik dikaitkan dengan kemarahan, agresivitas, dan pertentangan baik secara fisik maupun dengan kata-kata kasar. Apabila telah terjadi konflik, pasti akan menimbulkan sikap emosi dari tiap orang di kelompok atau organisasi itu sehingga akan menimbulkan konflik yang lebih besar. Oleh karena itu, menurut pandangan tradisional, konflik haruslah dihindari.
- Pandangan kontemporer mengenai konflik didasarkan pada anggapan bahwa konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan sebagai konsekuensi logis interaksi manusia. Namun, yang menjadi persoalan adalah bukan bagaimana meredam konflik, tapi bagaimana menanganinya secara tepat sehingga tidak merusak hubungan antarpribadi bahkan merusak tujuan organisasi. Konflik dianggap sebagai suatu hal yang wajar di dalam organisasi. Konflik bukan dijadikan suatu hal yang destruktif, melainkan harus dijadikan suatu hal konstruktif untuk membangun organisasi tersebut, misalnnya bagaimana cara peningkatan kinerja organisasi.
Konflik Menurut Peneliti Lainnya
- Konflik terjadi karena adanya interaksi yang disebut komunikasi. Hal ini dimaksudkan apabila kita ingin mengetahui konflik berarti kita harus mengetahui kemampuan dan perilaku komunikasi. Semua konflik mengandung komunikasi, tapi tidak semua konflik berakar pada komunikasi yang buruk. Menurut Myers, Jika komunikasi adalah suatu proses transaksi yang berupaya mempertemukan perbedaan individu secara bersama-sama untuk mencari kesamaan makna, maka dalam proses itu, pasti ada konflik (1982: 234). Konflik pun tidak hanya diungkapkan secara verbal tapi juga diungkapkan secara nonverbal seperti dalam bentuk raut muka, gerak badan, yang mengekspresikan pertentangan (Stewart & Logan, 1993:341). Konflik tidak selalu diidentifikasikan sebagai terjadinya saling baku hantam antara dua pihak yang berseteru, tetapi juga diidentifikasikan sebagai ‘perang dingin’ antara dua pihak karena tidak diekspresikan langsung melalui kata – kata yang mengandung amarah.
- Konflik tidak selamanya berkonotasi buruk, tapi bisa menjadi sumber pengalaman positif (Stewart & Logan, 1993:342). Hal ini dimaksudkan bahwa konflik dapat menjadi sarana pembelajaran dalam memanajemen suatu kelompok atau organisasi. Konflik tidak selamanya membawa dampak buruk, tetapi juga memberikan pelajaran dan hikmah di balik adanya perseteruan pihak – pihak yang terkait. Pelajaran itu dapat berupa bagaimana cara menghindari konflik yang sama supaya tidak terulang kembali di masa yang akan datang dan bagaimana cara mengatasi konflik yang sama apabila sewaktu – waktu terjadi kembali.
Teori-teori konflik
Ada tiga teori konflik yang menonjol dalam
ilmu sosial. Pertama adalah teori konflik C. Gerrtz, yaitu tentang
primodialisme, kedua adalah teori konflik Karl. Marx, yaitu tentang pertentangan
kelas, dan ketiga adalah teori konflik James Scott, yaitu tentang Patron Klien.
Sumber konflik
- Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang
memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya.
Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata
ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani
hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya,
ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap
warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi
ada pula yang merasa terhibur.
- Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh
dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada
akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
- Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok.
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun
latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu,
dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan
yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi
untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan
dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang
menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh
ditebang. Para petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang
bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang.
Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya diekspor
guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan,
hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas
terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya
sehingga akan mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat
perbedaan kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial,
dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antara kelompok
dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh dengan pengusaha yang
terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh
menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan
yang besar untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha
mereka.
- Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar
terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak,
perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada
masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak akan
memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional
yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai
masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai
kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang
disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi
hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi
individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang cenderung tidak
ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan
istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara
cepat atau mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di
masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan
karena dianggap mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat yang telah ada.
Jenis-jenis konflik
Menurut Dahrendorf,
konflik dibedakan menjadi 6 macam :
- Konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi (konflik peran (role))
- Konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank).
- Konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisi melawan massa).
- Konflik antar satuan nasional (kampanye, perang saudara)
- Konflik antar atau tidak antar agama
- Konflik antar politik.
- konflik individu dengan kelompok
Akibat konflik
Hasil dari sebuah konflik adalah sebagai
berikut :
- meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup) yang mengalami konflik dengan kelompok lain.
- keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.
- perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci, saling curiga dll.
- kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia.
- dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.
Para pakar teori telah mengklaim bahwa
pihak-pihak yang berkonflik dapat memghasilkan respon terhadap konflik menurut
sebuah skema dua-dimensi; pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian
terhadap hasil tujuan pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa
sebagai berikut:
- Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
- Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya akan menghasilkan percobaan untuk "memenangkan" konflik.
- Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan menghasilkan percobaan yang memberikan "kemenangan" konflik bagi pihak tersebut.
- Tiada pengertian untuk kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk menghindari konflik.
Contoh konflik
- Konflik Vietnam berubah menjadi perang.
- Konflik Timur Tengah merupakan contoh konflik yang tidak terkontrol, sehingga timbul kekerasan. hal ini dapat dilihat dalam konflik Israel dan Palestina.
- Konflik Katolik-Protestan di Irlandia Utara memberikan contoh konflik bersejarah lainnya.
- Banyak konflik yang terjadi karena perbedaan ras dan etnis. Ini termasuk konflik Bosnia-Kroasia (lihat Kosovo), konflik di Rwanda, dan konflik di Kazakhstan.
Asumsi setiap orang memiliki kecenderungan
tertentu dalam menangani konflik.
Terdapat 5 kecenderungan:
• Penolakan: konflik menyebabkan tidak nyaman
• Kompetisi: konflik memunculkan pemenang
• Kompromi: ada kompromi & negosiasi
dalam konflik untuk meminimalisasi kerugian
• Akomodasi: ada pengorbanan tujuan pribadi
untuk mempertahankan hubungan
• Kolaborasi: mementingkan dukungan &
kesadaran pihak lain untuk bekerja bersama-sama.
STRATEGI PENYELESAIAN KONFLIK
Pendekatan penyelesaian konflik oleh pemimpin
dikategorikan dalam dua dimensi ialah kerjasama/tidak kerjasama dan tegas/tidak
tegas. Dengan menggunakan kedua macam dimensi tersebut ada 5 macam pendekatan
penyelesaian konflik ialah :
1. Kompetisi
Penyelesaian konflik yang menggambarkan satu
pihak mengalahkan atau mengorbankan yang lain. Penyelesaian bentuk kompetisi
dikenal dengan istilah win-lose orientation.
2. Akomodasi
Penyelesaian konflik yang menggambarkan
kompetisi bayangan cermin yang memberikan keseluruhannya penyelesaian pada
pihak lain tanpa ada usaha memperjuangkan tujuannya sendiri. Proses tersebut
adalah taktik perdamaian.
3. Sharing
Suatu pendekatan penyelesaian kompromistis
antara dominasi kelompok dan kelompok damai. Satu pihak memberi dan yang lkain
menerima sesuatu. Kedua kelompok berpikiran moderat, tidak lengkap, tetapi
memuaskan.
4. Kolaborasi
Bentuk usaha penyelesaian konflik yang
memuaskan kedua belah pihak. Usaha ini adalah pendekatan pemecahan problem
(problem-solving approach) yang memerlukan integrasi dari kedua pihak.
5. Penghindaran
Menyangkut ketidakpedulian dari kedua
kelompok. Keadaaan ini menggambarkan penarikan kepentingan atau mengacuhkan
kepentingan kelompok lain.
INTERAKSI WIN –WIN
Berpikir Menang-Menang merupakan sikap hidup,
suatu kerangka berpikir yang menyatakan : “Saya dapat menang, dan demikian juga
Anda, kita bisa menang”. Berpikir Menang-Menang merupakan dasar untuk dapat
hidup berdampingan dengan orang lain. Berpikir Menang-Menang dimulai dengan
kepercayaan bahwa kita adalah setara, tidak ada yang di bawah ataupun di atas
orang lain. Hidup bukanlah kompetisi. Mungkin kita memang menjumpai bahwa dunia
bisnis, sekolah, keluarga, olah raga adalah dunia yang penuh kompetisi, tetapi
sebenarnya kita sendirilah yang menciptakan dunia kompetisi. Hidup sebenarnya
adalah relasi dengan orang lain. Berpikir Menang-Menang bukanlah berpikir
tentang Menang-Kalah, Kalah-Menang, atau pun Kalah –Kalah.
1. Win-Lose (Menang – Kalah).
Paradigma ini mengatakan jika “saya menang,
anda kalah “. Dalam gaya ini seseorang cenderung menggunakan kekuasaan,
jabatan, mandat, barang milik, atau kepribadian untuk mendapatkan apa yang diinginkan
dengan mengorbankan orang lain. Dengan paradigma ini seseorang akan merasa
berarti jika ia bisa menang dan orang lain kalah. Ia akan merasa terancam dan
iri jika orang lain menang sebab ia berpikir jika orang lain menang pasti
dirinya kalah. Jika menang pun sebenarnya ia diliputi rasa bersalah karena ia
menganggap kemenangannya pasti mengorbankan orang lain. Pihak yang kalah pun
akan menyimpan rasa kecewa, sakit hati, dan merasa diabaikan.
Sikap Menang-Kalah dapat muncul dalam bentuk
:
Menggunakan orang lain , baik secara
emosional atau pun fisik, untuk kepentingan diri.
Mencoba untuk berada di atas orang lain.
Menjelek-jelekkan orang lain supaya diri
sendiri nampak baik.
Selalu mencoba memaksakan kehendak tanpa
memperhatikan perasaan orang lain.
Iri dan dengki ketika orang lain berhasil
2. Lose-Win (Kalah – Menang).
Dalam gaya ini seseorang tidak mempunyai
tuntutan, visi, dan harapan. Ia cenderung cepat menyenangkan atau memenuhi
tuntutan orang lain. Mereka mencari kekuatan dari popularitas atau penerimaan.
Karena paradigma ini lebih mementingkan popularitas dan penerimaan maka menang
bukanlah yang utama. Akibatnya banyak perasaan yang terpendam dan tidak
terungkapkan sehingga akan menyebabkan penyakit psikosomatik seperti sesak
napas, saraf, gangguan sistem peredaran darah yang merupakan perwujudan dari
kekecewaan dan kemarahan yang mendalam.
3. Lose-Lose (Kalah – Kalah)
Biasanya terjadi jika orang yang bertemu
sama-sama punya paradigma Menang-Kalah. Karena keduanya tidak bisa bernegosiasi
secara sehat, maka mereka berprinsip jika tidak ada yang menang , lebih baik
semuanya kalah. Mereka berpusat pada musuh, yang ada hanya perasaan dendam
tanpa menyadari jika orang lain kalah dan dirinya kalah sama saja dengan bunuh
diri.
4. Win (Menang)
Orang bermentalitas menang tidak harus
menginginkan orang lain kalah. Yang penting adalah mereka mendapatkan apa yang
mereka inginkan. Orang bermentalitas menang menjadi egois dan akan mencapai
tujuannya sendiri. Jika hal ini menjadi pola hidupnya maka ia tidak akan bisa
akrab dengan orang lain, merasa kesepian, dan sulit kerja sama dalam tim.
5. Win-Win (Menang-Menang)
Menang-Menang adalah kerangka pikiran dan
hati yang terus menerus mencari keuntungan bersama dalam semua interaksi.
Menang-Menang berarti mengusahakan semua pihak merasa senang dan puas dengan
pemecahan masalah atau keputusan yang diambil. Paradigma ini memandang
kehidupan sebagai arena kerja sama bukan persaingan. Paradigma ini akan
menimbulkan kepuasan pada kedua belah pihak dan akan meningkatkan kerja sama
kreatif.
Cara-cara Pemecahan konflik
Usaha manusia untuk meredakan pertikaian atau
konflik dalam mencapai kestabilan dinamakan “akomodasi”. Pihak-pihak yang
berkonflik kemudian saling menyesuaikan diri pada keadaan tersebut dengan cara
bekerja sama. Bentuk-bentuk akomodasi :
1. Gencatan senjata, yaitu penangguhan permusuhan untuk jangka waktu
tertentu, guna melakukan suatu pekerjaan tertentu yang tidak boleh diganggu.
Misalnya : untuk melakukan perawatan bagi yang luka-luka, mengubur yang
tewas, atau mengadakan perundingan perdamaian, merayakan hari suci keagamaan,
dan lain-lain.
2. Abitrasi, yaitu
suatu perselisihan yang langsung dihentikan oleh pihak ketiga yang memberikan
keputusan dan diterima serta ditaati oleh kedua belah pihak. Kejadian seperti
ini terlihat setiap hari dan berulangkali di mana saja dalam masyarakat, bersifat
spontan dan informal. Jika pihak ketiga tidak bisa dipilih maka pemerintah
biasanya menunjuk pengadilan.
3. Mediasi, yaitu penghentian pertikaian oleh pihak ketiga tetapi
tidak diberikan keputusan yang mengikat. Contoh : PBB
membantu menyelesaikan perselisihan antara Indonesia dengan Belanda.
4. Konsiliasi,
yaitu usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak yang berselisih sehingga
tercapai persetujuan bersama. Misalnya : Panitia tetap
penyelesaikan perburuhan yang dibentuk Departemeapai kestabilan n Tenaga Kerja. Bertugas
menyelesaikan persoalan upah, jam kerja, kesejahteraan buruh, hari-hari libur,
dan lain-lain.
5. Stalemate, yaitu
keadaan ketika kedua belah pihak yang bertentangan memiliki kekuatan yang
seimbang, lalu berhenti pada suatu titik tidak saling menyerang. Keadaan ini
terjadi karena kedua belah pihak tidak mungkin lagi untuk maju atau mundur.
Sebagai contoh : adu senjata antara Amerika Serikat dan Uni Soviet pada masa Perang dingin.
6. Adjudication
(ajudikasi),
yaitu penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan.
Adapun cara-cara yang lain untuk memecahkan
konflik adalah :
1. Elimination,
yaitu pengunduran diri salah satu pihak yang terlibat di dalam konflik, yang
diungkapkan dengan ucapan antara lain : kami mengalah, kami keluar, dan
sebagainya.
2. Subjugation
atau domination,
yaitu orang atau pihak yang mempunyai kekuatan terbesar untuk dapat memaksa
orang atau pihak lain menaatinya. Sudah barang tentu cara ini bukan suatu cara
pemecahan yang memuaskan bagi pihak-pihak yang terlibat.
3. Majority rule, yaitu suara
terbanyak yang ditentukan melalui voting untuk mengambil keputusan tanpa
mempertimbangkan argumentasi.
4. Minority consent, yaitu
kemenangan kelompok mayoritas yang diterima dengan senang hati
oleh kelompok minoritas. Kelompok minoritas sama sekali tidak merasa dikalahkan dan sepakat
untuk melakukan kerja sama dengan kelompok mayoritas.
6. Integrasi, yaitu
mendiskusikan, menelaah, dan mempertimbangkan kembali pendapat-pendapat sampai
diperoleh suatu keputusan yang memaksa semua pihak.
Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik
http://andrie07.wordpress.com/2009/11/25/faktor-penyebab-konflik-dan-strategi-penyelesaian-konflik/
http://id.wikipedia.org/wiki/Penyelesaian_konflik
0 komentar:
Posting Komentar